Ada
sekitar 28 tenaga kerja Indonesia (TKI) yanh bekerja sebagai perawat
(nurse) dan pekerja perawat (care workers) di daerah tsunami Jepang. 15
Di antaranya belum bisa dikontak.
Crisis
Centre Kemenakertrans untuk Tsunami Jepang menyatakan hal itu dalam
rilisnya berdasarkan hasil pantauan dari Japan International Corporation
of Welfare Services (JICWELS) pada pukul 09.30 WIB, Minggu (13/3/2011).
Mereka tersebar di beberapa prefektur yang terkena tsunami, sebagai berikut:
1. Miyagi (jumlah nurse 3 dan careworkers 6 orang)
2. Iwate (careworkers 2)
3. Fukushima (nurse 4)
4. Aomori (nurse 4 dan careworkers 9)
"Khusus
di Prefektur Aomori semua selamat dan berada di rumah sakit dan panti
jompo. Sedangkan di tiga prefektur lain komunikasi belum dapat dilakukan
karena jaringan rusak sehingga situasinya belum terpantau jelas," jelas
Crisis Center Kemenakertrans.
Tim
evakuasi KBRI telah tiba melalui jalur darat ke daerah bencana dan
pihak JICWELS akan tetap memantau dan menyampaikan laporan keadaan TKI
di 3 daerah.
Perkembangan
terakhir tentang para nurse dan careworkers akan dipantau terus.
Kemenakertrans membuka Crisis Centre Tsunami Jepang di nomor 0815 744
7776, 0816 164 2613, 0815 187 3081 dan 0815 187 3081. Juga dapat dibuka
website www.pemagangan.com.
Contoh Artikel Koran:
Membunuh Media, Mencederai Warga
Ditulis oleh Bimo Nugroho
Senin, 06 September 2004 00:00
Sumber: Opini - Koran Tempo
Ditulis oleh Bimo Nugroho
Senin, 06 September 2004 00:00
Sumber: Opini - Koran Tempo
Apakah kita memiliki kebebasan? Apakah kita merasa memiliki kebebasan? Apakah kita cuma seolah-olah merasa memiliki kebebasan?
Kebebasan
secara esensial membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Oleh
karena itu, kebebasan menjadi asasi manusia, baik hak maupun kewajiban.
Jadi, jawaban atas pertanyaan pertama menjadi haqul mutlak adanya: ya,
kita memiliki kebebasan.
Apakah
kita merasa memilikinya atau tidak, itu ditentukan oleh tingkat
kesadaran sosial-politik tiap individu. Maka, muncullah gradasi
kebebasan yang perbedaannya secara halus dipengaruhi oleh pendidikan,
bacaan, dan pergaulan seseorang. Orang berjuang keras supaya
berpendidikan, kaya, dan punya jaringan luas, ujung-ujungnya toh,
memperbanyak pilihan untuk bebas. Sebaliknya, orang bisa mengabaikan
sekolah, kekayaan, dan koneksi luas, karena ia merasa tanpa itu semua ia
sudah menjadi manusia bebas. Kekayaan dan kekuasaan tidak mempunyai
nilai ketika keduanya tak menambah pilihan bebas.
Bahkan kekayaan dan kekuasaan bisa menjadi mengerikan tatkala menindas kebebasan.
Pada
saat manusia menindas kebebasan, pada titik itulah sesungguhnya ia cuma
seolah-olah merasa memiliki kebebasan. Ini adalah sebuah kesadaran
palsu. Sebab, ketika ia membunuh kebebasan, setali tiga uang pula ia
sedang mencederai kemanusiaannya.
Kasus Bambang Harymurti
Pengadilan
atas Bambang Harymurti dan dua wartawan Tempo hari ini, juga
peristiwa-peristiwa yang menimpa lembaga pers lainnya seperti majalah
Trust, harian Rakyat Merdeka, dan Jawa Pos, bukanlah semata-mata kasus
hukum, melainkan terlebih merupakan kasus pembunuhan atas kebebasan dan
pencederaan terhadap asasi kemanusiaan. Mengapa demikian?
Analogi
kerja jurnalis seperti halnya kerja seorang dokter barangkali bisa
menerjemahkan filsafat kebebasan dengan kata-kata yang sederhana dalam
tulisan yang singkat ini. Tugas jurnalis sama dengan tugas dokter, yaitu
menyelamatkan manusia untuk hidup bebas. Dokter memeriksa, menelisik,
dan memberi obat, bahkan bila perlu melakukan operasi bedah. Jurnalis
mewawancara, mencari, dan memberi informasi, bahkan bila perlu melakukan
investigasi. Dokter mempunyai prosedur standar kerja dan kode etik,
jurnalis pun wajib bekerja sesuai dengan prosedur standar dan kode
etiknya. Jika tidak, keduanya bisa dituduh malapraktek dan dipecat dari
profesinya.
Apakah
dengan mengikuti prosedur standar dan kode etiknya, dokter dan jurnalis
dipastikan dapat menyelamatkan manusia untuk hidup bebas? Apakah dokter
yang baik pasti menjamin pasiennya tak akan mati? Apakah wartawan yang
baik pasti menjamin khalayak mendapat informasi yang tak terbantahkan?
Belum tentu. Pasien mungkin mati dan informasi bisa salah. Tetapi,
dokter dan jurnalis tak bisa dihukum jika ia sudah bekerja sesuai dengan
prosedur standar dan kode etiknya.
Siapa
yang mau jadi dokter dan jurnalis jika dalam setiap proses kerjanya
bisa diganggu gugat atau dikriminalisasi? Setiap intervensi dari siapa
pun terhadap kerja mereka justru bisa mengacaukan hasil dan independensi
pekerjaannya. Di situlah dokter dan jurnalis mempunyai kebebasan otonom
dalam kerja profesinya. Kebebasan itu diberikan bukan untuk
enak-enakan, kerja semaunya, melainkan demi menjamin kemaslahatan hidup
manusia.
Nah,
bagaimana jika semua standar kerja dan kode etik sudah diikuti, toh
pasien mati atau berita ternyata salah? Pergulatan manusia dengan
kebebasan telah menemukan sebuah konsep yang dikenal luas: kebebasan
memperoleh informasi. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan klaim atas
kebenaran informasi, dan dokter atau jurnalis wajib memberikan jawaban
kepada pihak yang berhak tersebut.
Indonesia
belum memiliki UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan lembaga yang
memfasilitasi warga seperti Komisi Informasi. Tetapi, ada Ikatan Dokter
Indonesia dan Dewan Pers yang bisa menjadi forum arbitrase untuk klaim
atas kebenaran informasi.
Bila
proses arbitrase ini dijalankan, khususnya untuk kasus pers, kita bisa
meyakini bahwa sesungguhnyalah kita memiliki kebebasan pers dan memang
merasa memiliki kebebasan pers. Sebaliknya, kriminalisasi pers dengan
tuntutan di pengadilan hingga membunuh media (bahkan overkilling!) hanya
menunjukkan kesadaran palsu akan kebebasan.
Mereka
yang melakukannya barangkali tak menyadari bahwa membunuh media berarti
mencederai warga, termasuk kemanusiaannya sendiri.
Penulis
mendukung pernyataan Komite Antikriminalisasi Pers yang meminta supaya
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus Tempo
membebaskan Bambang Harymurti dan dua jurnalisnya. Lebih dari sekadar
persoalan Tempo, kasus ini, seperti halnya yang menimpa media-media
lain, merupakan persoalan bersama dalam upaya menegakkan demokrasi dan
kebebasan.
Sebagai
warga, kita telah dicederai karena media-media tak lagi bebas
memberikan informasi yang kita butuhkan. Pilihan informasi yang kita
punya pun makin terbatas.
Citizen
Lawsuit, Sekali lagi sebagai warga, kita tak bisa membiarkan
kasus-kasus kriminalisasi pers ini makin banyak dan makin merugikan
publik. Bagaimana caranya? Paling tidak ada dua: cara preman dan cara
nonpreman atau yang beradab.
Mau
gunakan cara preman? O, gampang, pakai saja kekerasan, intimidasi,
sabotase, bahkan kalau perlu gunakan isu suku, agama, ras, dan
antargolongan, seperti provokasi-provokasi yang telah meluluhlantakkan
berbagai wilayah negeri ini. Mau cara yang lebih halus, cari pengacara
yang lincah, main suap jaksa dan hakim sehingga keputusan pengadilan
bisa diatur. Di luar pengadilan, terbitkanlah media cetak atau curilah
izin frekuensi untuk bikin radio atau TV yang isinya mendukung upaya
kita menggebuk lawan.
Tetapi,
saudara-saudara, cara-cara preman tersebut justru akan menjauhkan kita
dari kebebasan dan kemanusiaan kita sendiri. Jadi, tak usahlah dipakai
karena hasilnya hanya akan menjadikan kita seolah-olah merasa memiliki
kebebasan.
Bagaimana
dengan jalan nonpreman? Dalam aktivitas penulis bersama beberapa
program LBH Pers, ada salah satu alternatif jalan hukum yang bisa
ditempuh untuk melawan kriminalisasi pers, yaitu Citizen Lawsuit.
Sebagai
warga negara kita bisa menuntut perubahan kebijakan yang wajib
dilakukan oleh lembaga-lembaga negara untuk menghentikan kriminalisasi
pers.
Sayang,
tulisan ini punya keterbatasan ruang untuk menerangkan sisik-melik
Citizen Lawsuit, tetapi pada intinya Anda bersama rekan-rekan Anda
(termasuk saya) dapat meminta Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan
Peraturan MA (Perma) yang mengikat jajaran hakim di seluruh Indonesia
untuk menggunakan UU Pers Nomor 40/1999 sebagai aturan khusus dalam
menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar